Kisah Perjalanan Hidup Emanuel Kemong Dimulai Dari Kota Tua Kokonao
Emanuel Kemong, Calon Wakil Bupati Mimika yang kini berpasangan dengan Johannes Rettob sebagai Calon Bupati Mimika (JOEL) untuk Pilkada 2024
MIMIKA, BM
Sama seperti anak-anak kecil lainnya, Emanuel Kemong waktu kecil juga dikenal sebagai anak yang bandel dan kadang menyusahkan kedua orang tuanya.
Bahkan saat itu ia dan beberapa sahabat masa kecilnya, suka mengambil susu sapi langsung di kandang tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Walau demikian, sebagai anak peternak sapi, Emanuel Kemong kecil sering membantu kedua orang tuanya memeras susu sapi dan menjualnya ke warga dan para biarawan biarawati di Agimuga. Ia sering bergantian jualan dengan mamanya.
Namun Ia kemudian tidak lagi berjualan susu sapi karena sudah banyak warga saat itu yang diajak bapaknya bergabung dalam kelompok peternak sapi.
“Ibu-ibu yang kemudian jual susu sapi ke masyarakat, pastor dan suster. Mereka paling suka dan selalu beli banyak. Sebagian mereka kirim ke Kokonao juga,” ungkapnya.
Di bangku pendidikan, Kemong mengakui ia selalu membuat kedua orangtuanya marah terutama ayahnya karena selain nakal, ia juga sering bolos sekolah.
“Bapak saya didikannya keras jadi kalau pulang terlambat apalagi kalau bolos sekolah, rotan sudah siap di depan pintu. Bapak pukul itu saya sampai kencing celana. Bapak keras karena kehidupan saat itu dan dia ingin anak-anaknya berhasil suatu saat,” ujarnya.
Dengan didikan orangtua yang tegas namun penuh kasih sayang, pada tahun 1975, Emanuel Kemong berhasil lulus dari sekolah dasar (SD) Agimuga.
Orangtuanya berpikir bahwa anak mereka harus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Almarhum Adam Kemong (Bapaknya Emanuel Kemong) merasa bahwa masa depan anaknya akan berhasil jika ia dididik di lingkungan gereja.
“Setelah saya lulus SD, bapak menghadap Bruder Jan. Bapak bilang agar saya terus lanjut sekolah ke Kokonao karena bagi bapak pendidikan adalah segalanya buat kami anak-anaknya,” ungkap Kemong sembari terdiam sejenak mengenang almarhum Ayahnya.
Pada akhirnya di tahun 1975, Emanuel Kemong bersama sejumlah anak di Agimuga dikirim oleh pastor dan Bruder Jan yang menangani pengiriman anak-anak ke Kokonao.
Ia mengisahkan, saat pengiriman ada beberapa teman-temannya yang kekurangan pakaian sehingga beberapa diantaranya hanya menggunakan baju dan koteka. Ada pula yang menggunakan pakaian lengkap namun tidak memiliki sendal dan sepatu.
“Yang terjadi adalah ketika kàmi siap mau berangkat, Bruder Jang menghubungi suster biara di Kokonao supaya segera menyiapkan baju dan celana yang baik karena anak-anak yang dikirim ada sebagian yang tidak punya celana,” ujarnya.
Ketika diterbangkan dan tiba di lapangan terbang Kokonao, para biarawati (suster-red) sudah menyiapkan pakaian sesuai permintaan yang ada.
"Teman-teman yang tidak punya celana, kotekanya di buka di dalam pesawat dan ganti pakaian disitu baru keluar dengan pakaian baru. Hal yang sama juga dibuat untuk teman-teman dari Enoratali (Paniai) dan Bilogai (Intan Jaya). Mereka juga dapat perlakukan yang sama. Semua ganti koteka,” ungkapnya.
“Setelah itu kami kemudian diantar ke asrama dan disitulah kami mulai mendapatkan pendidikan baik di asrama maupun sekolah,” ujarnya.
Walau sudah lulus SD di Agimuga, namun di Kokonao Emanuel Kemong dan teman-temannya yang lain harus mengikuti tes lagi untuk masuk SMP Kokonao.
“Saya sudah selesai kelas 6 tapi setelah sampai Kokonao di tes ulang lagi dan ternyata saya dan beberapa dianggap tidak mampu sehingga kami harus mengulang sekolah lagi di kelas 6. Tahun 1976 baru kami lulus SD dan lanjut SMP Kokonao,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan saat sekolah di Kokonao, untuk kali pertama ia berjumpa dan mengenal Plt Bupati Mimika saat ini, Johannes Rettob.
“Saya masuk SD di Kokonao dan di situlah saya pertama kali bertemu dengan Bapak Johannes Rettob. Waktu itu saya SD beliau SMP. Saya naik SMP kelas 1 beliau tamat dan langsung keluar Papua,” kenangnya.
Walau sudah tinggal di asrama Kokonao dan telah memiliki banyak teman saat itu, namun Emanuel Kemong mengaku ia harus beradaptasi dengan banyak hal.
Ia bahkan mengakui ada saat dimana ia begitu rindu kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Terkadang ia menangis seorang diri karena rasa rindu itu.
Sekolah di Kokonao tidak dilaluinya juga dengan mulus karena diakuinya, selain harus mengulang kelas 6 SD, ia juga pernah tinggal kelas saat kelas 2 SMP. Jadi menurutnya sudah dua kali ia mengulang kelas.
Walau demikian hal itu tidak membuatnya putus sekolah atau kembali ke Agimuga karena saat itu dipikirannya hanya satu, yakni membuat kedua orangtua bangga padanya.
“Banyak teman-teman yang mengulang kelas juga dan mereka tidak mau sekolah lagi. Saya dua kali di SD dan SMP tapi saya tidak ingin mundur. Mereka pulang tapi saya tidak, saya harus sekolah lagi,” terangnya.
Saat tertinggal di kelas 2 SMP YPPK Le Cocq D’Ardmandville Kokonao, Emanuel Kemong seharusnya tidak diizinkan lagi sekolah dan tinggal di asrama Kokonao karena memang itu aturannya.
“Sebenarnya saya sudah tidak boleh sekolah dan tinggal lagi di asrama karena tinggal kelas. Tapi Bruder Jan lihat semangat saya untuk sekolah sehingga akhirnya Bruder Jan ketemu dan bicara dengan kepala sekolah dan para guru. Akhirnya saya diterima untuk sekolah dan tinggal lagi di asrama,” kenangnya.
Selama SD di Kokonao ia mengaku tidak pernah pulang ke Agimuga. Ia hanya sekali balik ke Agimuga setelah lulus SMP.
“Saya tidak pernah balik ke kampung. Tamat SMP baru saya balik ke kampung. Saya sudah niat dari awal begitu dan ingin buat mama dan bapa bangga bahwa anak mereka sudah berubah jadi lebih baik dan rajin sekolah,” ungkapnya.
Emanuel Kemong mengatakan kehidupan di asrama Kokonao membuat banyak perubahan dalam hidupnya.
Ia berbaur dan dekat dengan banyak anak karena di asrama mereka semua diajar untuk tidak membedakan yang satu dengan lainnya.
“Kami di ajar untuk berbaur dan tidak boleh ada pengelompokan. Di asrama tidak boleh bicara pakai bahasa daerah. Bahasa harus satu dan kalau ada yang dengar kami bicara bahasa daerah pasti dilaporkan,” ungkapnya.
Hal paling berkesan menurutnya saat hidup di asrama adalah kedisiplinannya. Ini pula yang kemudian menginspirasinya mendirikan sekolah asrama bagi anak-anak Papua baik di Mimika maupun di kota studi saat menjabat sebagai direktur YPMAK.
“Kesan luar biasa yang mereka ajarkan adalah disiplin. Masa kecil saya di Agimuga tidak terlalu banyak, saya lama di Kokonao. Cari uang, hidup jadi pembantu, kerja dengan orang baru dapat uang,” ucapnya.
“Saya bergaul dengan semua suku, belajar hidup mandiri. Ini juga yang kemudian jadi modal bagi hidup saya sehingga kemana-mana, apapun yang saya alami, saya kuat hadapi,” kenangnya.
Saat sekolah di Kokonao, satu pesan ayahnya yang selalu ada dalam sanubari dan terus jadi kekuatan baginya adalah doa. Ayahnya mengatakan doa adalah kekuatan utama manusia.
“Saya selalu ingat kalimat ini, bapak saya selalu ajar dan bilang, Manu (nama kecilnya), yang tidak bisa kita ubah adalah doa. Doa itu kehidupan,” ujarnya.
“Ko boleh jago dalam segala macam hal tapi ketika ko jadi orang besar itu karena kuasa Tuhan. Jadi kalau mau bertindak dan mau buat apa- apa, berdoa dulu baru lakukan,” ungkapnya.
Setelah berhasil mengenyam pendidikan di SD dan SMP YPPK Le Cocq D’Ardmandville, pada tahun 1981, Emanuel Kemong melanjutkan studinya di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Taruna Bakti Jayapura.
Motivasi dan kemandirian hidup yang ia dapatkan di Kokonao, berhasil membentuk karakternya menjadi seorang anak yang tidak mudah menyerah, mandiri, selalu mengandalkan Tuhan dan rajin dalam belajar.
Pengalaman hidup itu berhasil menghadirkan mindset baru dalam hidupnya yakni menjadi orang yang berhasil jalannya hanya satu yaitu pendidikan.
Tidak heran selama di Jayapura ia bekerja keras dalam belajar. Hasilnya, ia terpilih sebagai salah satu murid lulusan terbaik dari ratusan anak saat itu.
“Saya tamat dari SPG sebagai juara ke-4 dari 400 orang yang lulus saat itu. Saya masuk sebagai lulusan terbaik. Karena prestasi itu, saya ditawain untuk melanjutkan pilihan studi di luar Papua,” ujarnya.
Setelah lulus dari SPG Di Jayapura pada tahun 1984, Kemong kemudian melanjutkan studi SPGAK selama satu tahun.
Saat itu ia diminta oleh para pembina untuk melanjutkan studi ke beberapa perguruan tinggi di Jayapura dan di Jawa tapi ia tidak mau.
“Saya tidak mau karena saya ingin menjadi guru dan mengabdi di Agimuga. Jadi setelah lulus saya langsung pulang kampung,” katanya.
Emanuel Kemong kemudian pulang kampung, kembali ke Mimika. Di Mimika ia kemudian mengajar di Agimuga.
“Saat itu saya mengajar di sepanjang Mimika Barat. Kemudian saya dipanggil ke Kabupaten Fak-Fak. Saya ke sana tes PNS dan puji Tuhan saya lolos. Wilayah Fak-Fak saat itu dimulai dari Agimuga-Tomage (barat),” katanya.
Setelah lulus PNS Emanuel Kemong kemudian dipindahkan mengajar selama setahun di Distrik Tomage (Fak-Fak).
“Di Tomage saya mengajar selama setahun kemudian ikut prajabatan. Setelah prajabatan SK penempatan saya di Agimuga. Sekolah yang saya ditugaskan saat itu adalah sekolah inpres. Setelah itu saya kemudian ditugaskan lagi mengajar di Kwamki Narama. (Ronald Renwarin)
Bersambung ke Part 3 ……….